Tabikpun.com – Dalam era globalisasi, adaptasi budaya menjadi fenomena yang semakin umum. Banyak karya asing terutama dari Korea Selatan, telah berhasil memikat hati penonton di seluruh dunia, terlebih di Asia melalui penyebaran Korean Pop Culture. Masuknya budaya negeri gingseng ini tidak hanya sebatas produk-produk fisik seperti pakaian, produk kecantikan, dan makanan.
Namun, penyebaran ini juga mencakup budaya, hingga industry hiburan yang kini banyak diminati masyarakat Indonesia seperti K-Pop dan K-Drama. Banyaknya peminat karya-karya industri hiburan Korea di Indonesia memanggil para kreator lokal untuk turut mengadaptasi karya-karya asal negeri gingseng itu.
Namun, dari sebuah karya adaptasi sering kali muncul reaksi beragam dari penggemar. Salah satunya, kontroversi seputar adaptasi A Business Proposal versi Indonesia adalah contoh nyata dari ketegangan ini. Di satu sisi, ada keinginan untuk menghargai kreativitas lokal, di sisi lain, terdapat ekspektasi tinggi yang sering kali berujung pada kritik tajam.
A Business Proposal, yang awalnya merupakan webtoon dan kemudian diadaptasi menjadi drama Korea yang sangat popular, berhasil menarik perhatian banyak penonton. Ketika diumumkan bahwa Indonesia akan membuat versi lokalnya, antusisasme hingga keraguan langsung muncul.
Namun, kritik mulai mencuat ketika Abidzar Al Ghifari terpilih sebagai pemeran utama. Adaptasi Lokal dan Ekspektasi Tinggi Penggemar Adaptasi karya asing ke dalam konteks lokal sering kali menjadi tantangan besar, terutama ketika karya aslinya sudah memiliki basis penggemar yang kuat.
Hal ini terlihat jelas dalam adaptasi A Business Proposal versi Indonesia. Drama Korea ini begitu dicintai oleh penggemar karena alur ceritanya yang segar dan chemistry para pemerannya. Ketika diumumkan bahwa versi lokalnya akan diperankan oleh Abidzar Al Ghifari, gelombang kritik langsung mencuat di media sosial.
Sebagian besar kritik berasal dari penggemar K-drama yang merasa bahwa adaptasi ini tidak akan mampu memenuhi standar tinggi yang telah ditetapkan oleh versi aslinya. Mereka menganggap pemilihan pemeran, terutama Abidzar, tidak sesuai dengan karakter yang mereka kenal.
Ekspektasi tinggi ini sering kali membuat adaptasi lokal sulit diterima, bahkan sebelum penonton memberi kesempatan untuk menilai hasil akhirnya secara objektif. Belum lagi, ditambah oleh reaksi Abidzar yang terkesan meremehkan perannya sebagai pemeran utama dengan mengungkapkan bahwa ia tidak menonton versi asli filmnya.
Dirinya juga mengatakan bahwa, Ia akan membangun karakternya sendiri di film ini. Sebagai film hasil adaptasi, tidak seharusnya Abizar gegabah dalam mengatakan hal seperti itu. Sudah seharusnya dirinya tetap menghargai bentuk original dari karya yang akan Ia adaptasi, apalagi jika harus membawa aspek perbedaan budaya di dalamnya.
Penting untuk diingat bahwa adaptasi budaya memiliki nilai tersendiri. Adaptasi bukan hanya tentang meniru, itu adalah tentang menginterpretasikan dan menyajikan kembali cerita dengan cara yang relevan bagi konteks lokal. Misalnya, adaptasi Laskar Pelangi dan Ada Apa dengan Cinta? telah menunjukkan bagaimana cerita asing bisa disesuaikan dengan budaya Indonesia tanpa kehilangan esensi aslinya.
Keberhasilan mereka membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat, adaptasi dapat memperkaya industri kreatif dan menciptakan identitas baru. Fanatisme dan Dampaknya pada Industri Kreatif Fanatisme terhadap karya asing, seperti K-drama, sering kali menciptakan tantangan besar bagi industri kreatif lokal.
Penggemar yang terlalu terikat pada versi asli cenderung membandingkan setiap detail adaptasi dengan sumbernya, tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya dan interpretasi kreatif. Hal ini tidak hanya merugikan para pembuat film tetapi juga menciptakan citra negatif terhadap karya lokal.
Adaptasi seharusnya dipandang sebagai upaya untuk menghadirkan cerita yang relevan dengan budaya dan audiens lokal. Namun, ketika kritik berubah menjadi serangan personal terhadap aktor atau pembuat film, hal ini dapat menghambat keberanian kreator untuk bereksperimen di masa depan.
Padahal, adaptasi adalah salah satu cara untuk memperluas wawasan budaya dan memperkaya industri hiburan nasional. Memberi Kesempatan pada Kreativitas Lokal Daripada langsung menghakimi, penting bagi kita untuk memberi kesempatan kepada karya lokal untuk berkembang.
Adaptasi bukanlah upaya meniru secara mentah-mentah, melainkan sebuah interpretasi baru yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan preferensi budaya setempat. Keberhasilan adaptasi seperti Laskar Pelangi atau Keluarga Cemara menunjukkan bahwa kreativitas lokal mampu menyajikan cerita dengan cara yang unik dan tetap relevan.
Kontroversi A Business Proposal Indonesia seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak, baik penggemar maupun pembuat film, untuk lebih terbuka terhadap perbedaan interpretasi. Dengan mendukung karya lokal, kita tidak hanya membantu industri kreatif berkembang tetapi juga menciptakan ruang bagi lebih banyak cerita untuk diadaptasi dan dinikmati oleh khalayak luas.
Penulis: Salsabila Maharani
Prodi: Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB