Tabikpun.com – Langit sore di lapangan sekolah selalu memberikan rasa tenang bagi saya. Di sanalah tempat saya menghabiskan waktu, melatih pukulan, melompat setinggi mungkin, dan mengasah teknik permainan.
Voli bukan sekadar hobi, melainkan dunia yang membuat saya merasa hidup. Setiap kali bola menyentuh tangan, ada semangat yang membara. Namun, di tahun terakhir SMA, semuanya berubah.
Saya dihadapkan pada pilihan besar: tetap mengejar mimpi di dunia olahraga atau mulai fokus mempersiapkan masa depan di bangku kuliah. Sebagian besar teman-teman saya memilih untuk ikut bimbingan belajar dan menghabiskan waktu mereka dengan latihan soal UTBK.
Setiap hari, mereka mendiskusikan strategi untuk bisa masuk PTN impian mereka. Saya juga sering mendapat tawaran untuk ikut les, tapi hati saya masih tertambat di lapangan voli. Hingga akhirnya, kesempatan untuk mengikuti seleksi POPDA (Pekan Olahraga Pelajar Daerah) datang.
Tanpa ragu, saya memilih untuk ikut. Antara Mimpi dan Kenyataan Keputusan ini bukan tanpa risiko. Dengan mengikuti seleksi POPDA, saya mengorbankan waktu belajar yang seharusnya bisa saya gunakan untuk mempersiapkan UTBK. Namun, saya percaya bahwa kesempatan untuk berlaga di ajang ini tidak datang dua kali.
Saya berlatih lebih keras dari sebelumnya. Setiap sore, saya mengulang teknik yang sama berkali-kali, memastikan setiap gerakan sempurna. Hingga akhirnya, seleksi tahap pertama tiba. Saya berhasil lolos.
Perasaan senang dan percaya diri semakin menguat. Saya berpikir, mungkin inilah jalannya mungkin saya bisa melangkah lebih jauh di dunia voli. Namun, harapan itu runtuh di tahap kedua. Lawan-lawan yang saya hadapi lebih tangguh dari yang saya perkirakan. Saya telah berusaha sebaik mungkin, tetapi hasilnya berkata lain.
Saya gagal. Mimpi saya untuk bertanding di tingkat provinsi pun kandas. Saat itu, saya tidak hanya kehilangan kesempatan di POPDA, tetapi juga kehilangan waktu berharga untuk belajar UTBK. Saya mulai panik.
Waktu ujian sudah semakin dekat, sementara saya tertinggal jauh dalam persiapan. Bertaruh pada UTBK dengan Persiapan Seadanya Dengan sisa waktu yang ada, saya mencoba mengejar ketertinggalan. Saya belajar sendiri, mengulang materi yang sempat terlupakan.
Tanpa bimbingan belajar, saya hanya mengandalkan pemahaman dari sekolah. Saya memilih Teknik Lingkungan UI sebagai pilihan pertama dan Kehutanan IPB sebagai pilihan kedua. Saat hari ujian tiba, saya berusaha semaksimal mungkin. Ada soal-soal yang terasa sulit, tetapi saya tetap berusaha tenang.
Saya masih berharap, meskipun persiapan saya jauh dari kata sempurna. Namun, ketika pengumuman hasil UTBK keluar, harapan itu kembali runtuh. Saya tidak lolos di kedua pilihan tersebut.
Perasaan kecewa begitu dalam. Saya mulai mempertanyakan semua keputusan yang telah saya ambil. Apakah saya telah menyia-nyiakan kesempatan? Apakah saya salah dalam menentukan prioritas? Jalur Mandiri yang Tak Memberikan Harapan Saya tidak ingin menyerah begitu saja.
Setelah gagal di UTBK, saya mencoba berbagai jalur mandiri. Saya mendaftar Mandiri IPB (Sarjana), UNS, dan SIMAK UI, berharap masih ada peluang bagi saya. Namun, satu per satu, hasilnya tetap sama. Saya gagal di semua jalur tersebut.
Saat itu, saya merasa benar-benar kehilangan arah. Semua pintu yang saya coba ketuk seakan tertutup rapat. Saya mulai berpikir, mungkin inilah akhirnya mungkin saya memang tidak ditakdirkan untuk kuliah tahun ini.
Di tengah kebimbangan, saya menemukan satu jalur terakhir yaitu Mandiri Sekolah Vokasi IPB. Awalnya, saya tidak terlalu memahami dunia vokasi, tetapi ini adalah kesempatan terakhir yang saya miliki. Saya memilih Komunikasi Digital dan Media sebagai pilihan pertama dan Manajemen Agribisnis sebagai pilihan kedua.
Hari pengumuman tiba. Saya membuka hasil seleksi dengan perasaan campur aduk antara harapan dan ketakutan. Namun, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya melihat kabar baik. Saya diterima di Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB. Perasaan saya saat itu bercampur aduk.
Di satu sisi, saya merasa lega karena akhirnya memiliki tempat untuk melanjutkan pendidikan. Tapi di sisi lain, saya tidak pernah membayangkan diri saya di bidang ini. Saya masih bertanya-tanya, apakah ini benar-benar jalan saya? Hari-hari pertama di kampus terasa asing. Saya yang terbiasa dengan dunia olahraga, kini harus beradaptasi dengan dunia baru: desain, media sosial, dan strategi komunikasi.
Awalnya, saya merasa canggung. Namun, perlahan-lahan, saya mulai menemukan keunikan di bidang ini. Saya belajar banyak hal baru hal-hal yang sebelumnya tidak pernah saya pikirkan. Dari perjalanan ini, saya belajar bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Kadang, kita harus melewati jalan yang tidak kita duga untuk menemukan tujuan yang sebenarnya.
Saya mungkin tidak lagi berada di lapangan voli, tetapi kini saya mulai menemukan tantangan baru yang tak kalah menarik. Setiap kegagalan membawa kita ke arah yang baru. Dan mungkin, di sinilah saya seharusnya berada. Bukan lagi sebagai atlet di lapangan voli, tetapi sebagai seseorang yang siap mengukir cerita baru di dunia komunikasi digital.
Penulis: Lutfina Resky Emelly Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB