Fenomena Cancel Culture dan Dampaknya terhadap Komunikasi Digital di Indonesia

Di Indonesia, cancel culture telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika komunikasi digital. Salah satu contoh yang mencerminkan fenomena ini adalah kasus yang menimpa Abidzar Al Ghifari. (Ist)

Tabikpun.com – Perkembangan teknologi digital telah secara mendasar mengubah cara masyarakat berinteraksi, berkomunikasi, dan mengekspresikan pendapat. Dalam konteks digital yang terus berkembang ini, muncul sebuah fenomena yang dikenal sebagai cancel culture.

Cancel culture merujuk pada tindakan kolektif yang dilakukan untuk mengecam, memboikot, atau mengisolasi individu maupun institusi yang dianggap telah melanggar norma sosial atau etika yang berlaku di masyarakat. Fenomena ini semakin marak karena keberadaan media sosial yang dapat menyebarkan informasi dengan cepat serta memungkinkan mobilisasi massa untuk mendukung atau menentang suatu isu.

Di Indonesia, cancel culture telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika komunikasi digital. Salah satu contoh yang mencerminkan fenomena ini adalah kasus yang menimpa Abidzar Al Ghifari, seorang aktor yang menuai kecaman setelah pernyataannya terkait industri hiburan Korea Selatan dianggap merendahkan oleh sebagian penggemar K-Drama. Kasus ini memicu gelombang kritik, seruan boikot, dan perdebatan sengit mengenai batasan kebebasan berpendapat serta etika dalam menggunakan media sosial.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji dampak cancel culture terhadap komunikasi digital, baik dari sudut pandang reputasi individu maupun etika komunikasi di ruang digital, dengan merujuk pada pandangan para ahli dan studi terkini.

Dampak Cancel Culture terhadap Reputasi di Media Digital

Cancel culture memiliki dampak yang signifikan terhadap reputasi individu atau institusi yang menjadi sasaran. Media sosial memungkinkan opini publik berkembang pesat, menciptakan gelombang dukungan atau kecaman yang berpotensi memengaruhi citra seseorang secara substansial.

Nisa Kurnia Illahiati, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), menjelaskan bahwa dua faktor yang menyebabkan budaya cancel dari segi komunikasi adalah kurangnya literasi dan kecenderungan warganet untuk bertindak sebagai hakim sendiri. Warganet sering kali terburu-buru dalam menghakimi seseorang tanpa terlebih dahulu melakukan verifikasi terhadap kebenaran informasi.

Dalam kasus Abidzar Al Ghifari, kritik di media sosial memberikan tekanan yang signifikan pada reputasinya sebagai figur publik. Banyak warganet yang menyerukan boikot terhadap proyek-proyek yang melibatkannya, yang menunjukkan bagaimana cancel culture dapat berdampak langsung pada karier seseorang.

Hal ini sejalan dengan penelitian dari Altamira dan Movementi (2022) yang menemukan bahwa figur publik yang paling rentan terhadap dampak cancel culture adalah selebritas, baik yang muncul di media massa maupun di media sosial. Selain itu, penelitian mereka menunjukkan bahwa cancel culture sering kali tidak memberikan ruang bagi permintaan maaf atau klarifikasi, yang justru memperburuk keadaan.

Selain berdampak pada individu, cancel culture juga dapat memengaruhi pihak lain yang terkait, seperti perusahaan, merek, atau institusi yang memiliki hubungan profesional dengan individu yang terkena cancel. Demi mempertahankan reputasi mereka di mata publik, banyak perusahaan memilih untuk menghentikan kerja sama dengan orang-orang yang menjadi target cancel culture. Hal ini menunjukkan bahwa cancel culture memiliki dampak luas pada ekosistem ekonomi dan sosial, bukan hanya pada individu yang bersangkutan.

Etika Komunikasi dalam Fenomena Cancel Culture

Fenomena cancel culture telah menyebabkan perdebatan yang mendalam tentang etika komunikasi digital. Di satu sisi, cancel culture dianggap sebagai bentuk kontrol sosial yang memungkinkan masyarakat untuk mengevaluasi perilaku figur publik dan menuntut pertanggungjawaban atas tindakan mereka.

Namun, di sisi lain, banyak pihak berpendapat bahwa cancel culture sering kali tidak memberikan ruang yang cukup untuk klarifikasi dan cenderung lebih bersifat menghukum daripada mendidik. Menurut Nisa Kurnia Illahiati, kurangnya literasi digital dapat membuat seseorang cenderung menghakimi dan menutup diri dari perspektif yang lebih luas.

Adanya standar ganda juga memperburuk fenomena ini karena masyarakat cenderung subjektif dalam menentukan siapa yang layak dihukum atau dimaafkan. Selain itu, cancel culture juga dapat berdampak pada kebebasan berekspresi.

Dalam banyak kasus, individu yang terkena cancel merasa enggan untuk menyampaikan pendapat mereka di ruang publik karena takut akan reaksi negatif yang mungkin timbul. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berbicara dan etika dalam berkomunikasi, sehingga diskusi yang sehat dapat tetap terjalin tanpa adanya intimidasi atau perundungan digital.

Refleksi dan Tantangan Cancel Culture dalam Komunikasi Digital

Cancel culture adalah fenomena yang terus berkembang di era digital dan memiliki dampak yang kompleks terhadap komunikasi di media sosial. Meskipun dapat berfungsi sebagai alat akuntabilitas sosial, fenomena ini juga membawa risiko berupa perundungan digital dan pembatasan kebebasan berekspresi.

Jika tidak disikapi dengan bijak, cancel culture dapat menciptakan lingkungan komunikasi yang penuh ketakutan dan intoleransi terhadap perbedaan pendapat. Kasus Abidzar Al Ghifari adalah contoh bagaimana opini publik yang berkembang di media sosial dapat memengaruhi reputasi seseorang secara signifikan.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat digital untuk lebih bijak dalam menanggapi isu-isu kontroversial, memberikan ruang bagi klarifikasi, serta menghindari tindakan yang bersifat menghukum tanpa dasar yang kuat. Dengan demikian, komunikasi digital dapat berkembang menjadi lebih etis, sehat, dan inklusif bagi semua pihak.

Selain itu, diperlukan peningkatan literasi digital agar masyarakat dapat memahami perbedaan antara kritik yang konstruktif dan tindakan perundungan yang merugikan. Pemangku kepentingan, termasuk platform media sosial, juga perlu berperan dalam menciptakan regulasi dan kebijakan yang mencegah penyalahgunaan cancel culture.

Dengan pendekatan yang lebih adil dan bertanggung jawab, cancel culture dapat diarahkan menjadi mekanisme sosial yang mendorong perubahan positif tanpa menimbulkan dampak negatif yang berlebihan.

Penulis: Jesslyanti Herryawan

Redaksi TabikPun :