Pemecatan Shin Tae-yong, Keputusan Tepat atau Blunder?

i bawah kepemimpina Shin Tae-yong, Timnas Indonesia berhasil mencapai final Piala AFF 2020, melaju ke putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026, dan mencatat sejarah dengan lolos dari fase grup Piala Asia 2023 untuk pertama kalinya. (Ist)

Tabikpun.com – Antara Prestasi dan Ekspektasi Sejak ditunjuk sebagai pelatih kepala Timnas Indonesia, Shin Tae-yong telah membawa perubahan besar. Berbagai pencapaian yang sebelumnya terasa sulit akhirnya bisa diraih.

Di bawah kepemimpinannya, Timnas Indonesia berhasil mencapai final Piala AFF 2020, melaju ke putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026, dan mencatat sejarah dengan lolos dari fase grup Piala Asia 2023 untuk pertama kalinya. Tak hanya itu, Shin Tae-yong juga dikenal sebagai pelatih yang berani memberikan kesempatan kepada pemain muda.

Nama-nama seperti Marselino Ferdinan, Pratama Arhan, Rafael Struick, dan Justin Hubner berkembang pesat di bawah asuhannya. Hal ini menjadi angin segar bagi sepak bola Indonesia, yang selama ini cenderung mengandalkan pemain berpengalaman tanpa memberi banyak ruang bagi Pemain muda.

Namun, meskipun ada banyak pencapaian positif, Shin Tae-yong tetap mendapat kritik. Salah satu yang paling sering disorot adalah ketidakstabilan permainan Timnas, terutama saat menghadapi lawan yang lebih kuat.

Beberapa keputusannya dalam menentukan strategi dan pergantian pemain juga kerap dipertanyakan. Di sisi lain, tekanan dari federasi dan suporter yang menginginkan hasil instan semakin memperumit situasi.

Ekspektasi terhadap Timnas begitu tinggi, sehingga setiap kekalahan langsung disambut dengan kritik tajam. Ini menimbulkan pertanyaan besar apakah pemecatan Shin Tae-yong benar-benar solusi yang tepat, atau justru akan menjadi blunder bagi perkembangan Timnas?

Dampak Jangka Panjang Keputusan yang Bisa Membawa Timnas Mundur?

Pemecatan Shin Tae-yong bukan sekadar pergantian pelatih, tetapi juga berisiko menghancurkan proyek jangka panjang yang sedang dibangun. Selama ini, Shin telah berkontribusi besar dalam pengembangan pemain muda, menciptakan generasi baru yang lebih kompetitif.

Jika pelatih pengganti memiliki filosofi berbeda atau gagal melanjutkan program yang ada, bukan tidak mungkin fondasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun akan hancur dengan cepat.

Mencari pengganti yang sepadan pun bukan perkara mudah. Tidak semua pelatih asing mampu memahami karakter sepak bola Indonesia seperti Shin.

Jika PSSI salah langkah, Timnas bisa kembali terjebak dalam siklus lama: sering berganti pelatih tanpa hasil yang signifikan. Adaptasi pelatih baru memerlukan waktu, tetapi ekspektasi suporter tetap tinggi.

Apakah PSSI siap menghadapi tekanan jika hasil yang diharapkan tak kunjung datang? Masalah lain yang tak kalah penting adalah rekam jejak pelatih pengganti. PSSI telah menunjuk Patrick Kluivert sebagai pelatih baru Timnas Indonesia, tetapi apakah ini keputusan yang tepat? Kluivert memang memiliki nama besar sebagai pemain, tetapi rekam jejaknya sebagai pelatih masih jauh dari kata meyakinkan.

Sebagai pelatih kepala, ia pernah menangani Timnas Curcao dan Adana Demirspor, namun tanpa pencapaian yang terlihat. Ia juga pernah menjadi asisten pelatih di tim nasional Belanda dan Australia, tetapi pengalaman sebagai asisten tentu berbeda dengan menjadi pelatih utama.

Lebih dari itu, Kluivert pernah tersandung kontroversi, termasuk kasus perjudian dan tuduhan pelecehan seksual. Meski detail kasus ini masih menjadi perdebatan, PSSI seharusnya mempertimbangkan aspek integritas dalam memilih pemimpin Timnas Indonesia.

Bagaimana seorang pelatih bisa membangun mentalitas kuat dalam tim jika dirinya sendiri memiliki catatan yang meragukan? Dari sisi finansial, pemecatan Shin Tae-yong juga bukan keputusan yang murah. Kontraknya masih berjalan, dan pemutusan sepihak kemungkinan besar mengharuskan PSSI membayar kompensasi yang tidak sedikit.

Alih-alih mengalokasikan dana untuk pengembangan sepak bola nasional, uang tersebut malah terbuang untuk pesangon. Apakah ini keputusan yang bijak? Seharusnya, PSSI melakukan evaluasi yang lebih objektif sebelum memutuskan pemecatan.

Jika ada kekurangan dalam strategi permainan, solusinya bukan dengan mengganti pelatih secara instan, melainkan dengan memberikan dukungan yang lebih konkret, seperti peningkatan fasilitas latihan, penguatan liga domestik, dan kebijakan naturalisasi yang lebih terarah. Selain itu, PSSI perlu lebih realistis dalam menetapkan target.

Jepang dan Korea Selatan tidak membangun sistem sepak bola yang kompetitif dalam semalam; mereka membutuhkan puluhan tahun. Indonesia seharusnya belajar dari mereka, bukan hanya mengejar hasil instan yang justru bisa merusak fondasi yang telah ada.

Jika pemecatan tetap dianggap sebagai opsi terbaik, maka PSSI wajib memastikan bahwa pengganti Shin benar-benar mampu melanjutkan proyek yang telah dibangun. Namun, dengan rekam jejak yang dimiliki Patrick Kluivert, sulit untuk optimis bahwa Timnas Indonesia akan berkembang lebih baik di bawah kepemimpinannya.

Penulis: Lutfina Resky Emelly Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

Redaksi TabikPun :