Oleh: Bg Iwan
Pemerhati Kebijakan Publik dan Lingkungan Hidup
Setiap musim penghujan, warga Kota Metro Lampung kembali dihantui kekhawatiran. Rumah tergenang, aktivitas lumpuh, bahkan kerugian harta benda akibat banjir pun tak terselamatkan. Sayangnya, persoalan ini kerapkali terulang tanpa solusi jangka panjang yang jelas. Narasi yang dibangun pemerintah pun selalu sederhana: curah hujan tinggi dan faktor cuaca ekstrem. Padahal, banjir di Kota Metro sesungguhnya bukan bencana alam murni, melainkan bencana dibuat ulah manusia itu sendiri. Hasil pp akumulasi kebijakan tata ruang yang keliru, lemahnya pengendalian pembangunan, dan ketidaktegasan pemerintah dalam menjaga keseimbangan ekologis Kota.
Alih Fungsi Lahan Tanpa Kendali: Bom Waktu yang Akhirnya Meledak
Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir, Kota Metro mengalami ekspansi kawasan permukiman dan komersial secara masif namun tanpa arah perencanaan yang disiplin. Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang, lebih dari 30 persen lahan sawah produktif di wilayah Metro Timur dan Metro Barat telah beralih fungsi menjadi perumahan. Ironisnya, banyak dari proyek tersebut berdiri diduga kuat tanpa AMDAL yang sah atau kajian daya dukung lingkungan yang memadai.
Permasalahan paling fatal terletak pada lokasi pembangunan itu sendiri. Tidak sedikit perumahan dibangun di atas dataran rendah, bantaran sungai, hingga kawasan bekas rawa alami yang selama ini berperan sebagai area tangkapan air alami Kota. Dengan absennya sistem drainase internal dan minimnya sumur resapan, kawasan-kawasan ini justru menjadi penyumbang limpasan air yang mempercepat terjadinya genangan di permukiman sekitarnya.
Pemerintah Kota Metro jelas abai menjalankan amanat RT RW 2015–2035 yang seharusnya menjaga kawasan resapan dan sempadan sungai. Celakanya, kawasan yang semestinya dilindungi justru diubah menjadi perumahan dan ruko tanpa kendali ketat. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga kelalaian serius yang merusak keseimbangan ekologis dan memperbesar risiko bencana.
Sistem Drainase Kuno yang Tak Lagi Layak
Salah satu akar persoalan yang kerap diabaikan adalah sistem drainase Kota yang tidak pernah diperbaharui secara komprehensif. Infrastruktur drainase Kota Metro masih mengandalkan saluran yang dibangun sejak era 1980-an. Kapasitasnya saat itu disesuaikan dengan beban wilayah kecil dan curah hujan moderat, bukan kondisi perkotaan dengan curah hujan ekstrem di atas 100 mm per hari seperti sekarang.
Tanpa masterplan drainase terpadu yang berbasis potensi curah hujan ekstrem dan proyeksi pertumbuhan kota, kapasitas drainase Kota Metro saat ini hanya mampu menampung sekitar 60 mm per hari. Hujan deras selama satu jam saja sudah cukup membuat saluran air meluap. Keadaan diperparah oleh saluran sekunder dan tersier yang tersumbat sedimentasi, sampah, serta banyak ditutup warga untuk kepentingan pribadi, tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah.
Fakta ini menegaskan bahwa banjir di Metro bukan semata persoalan intensitas hujan, tetapi lebih karena infrastruktur yang usang dan tata kelola drainase yang diabaikan bertahun-tahun.
Degradasi Sungai Akibat Pengabaian dan Pembiaran Sungai Way Sekampung, Way Raman, dan anak sungainya kini dalam kondisi kritis. Sedimentasi mencapai rata-rata 40–50 cm per tahun akibat limpasan tanah, limbah domestik, dan pembuangan sampah liar. Namun, Pemkot Metro nyaris tidak pernah melakukan normalisasi atau pengerukan sungai secara sistematis dalam lima tahun terakhir.
Lebih ironisnya lagi, banyak bantaran sungai yang seharusnya menjadi area terbuka hijau dan sempadan lindung justru dipenuhi permukiman liar, mempersempit badan sungai secara drastis. Di beberapa titik, lebar sungai berkurang hingga 40–50 persen dibanding data peta hidrologi lama. Akibatnya, saat debit air meningkat, daya tampung sungai tidak mampu mengantisipasi, dan luapan air tak terhindarkan.
Buruknya Layanan Persampahan: Penyumbang Masalah yang Diremehkan
Faktor lain yang memperparah situasi adalah minimnya layanan persampahan. Berdasarkan data DLH Metro 2023, sekitar 30 persen warga belum terlayani sistem angkutan sampah resmi. Akibatnya, perilaku membuang sampah ke sungai dan drainase masih sangat tinggi.
Alih-alih memperkuat fasilitas persampahan terdesentralisasi seperti TPS 3R di tiap kecamatan, pemerintah lebih sibuk membangun taman kota demi pencitraan visual. Padahal, tanpa penanganan sampah yang baik, saluran air akan terus tersumbat, memperparah genangan.
Kepemimpinan yang Reaktif dan Minim Gagasan Sistemik
Persoalan terbesar Metro bukan hanya pada infrastruktur, tetapi pada kualitas kepemimpinan kota yang terlalu sibuk mengurus hal-hal kosmetik ketimbang menyelesaikan persoalan struktural. Setiap banjir datang, Wali Kota, Wakil Wali Kota, dan pejabat DPRD ramai turun ke lokasi, berbagi dokumentasi di media sosial, dan melontarkan janji. Tapi usai air surut, semua kembali berjalan tanpa evaluasi kebijakan dan reformasi kebijakan ruang kota.
Hingga kini, Kota Metro belum memiliki Rencana Induk Penanggulangan Banjir yang berbasis peta debit air hujan ekstrem, peta risiko bencana, dan analisis daya tampung ekosistem kota. Tanpa road map yang jelas, semua tindakan yang dilakukan hanya tambal sulam dan reaktif.
Rekomendasi Solusi: Kota Ini Harus Diselamatkan
Jika situasi ini dibiarkan, banjir di Metro akan menjadi bencana yang dinormalisasi, dan warga dipaksa berdamai dengan genangan setiap tahun. Oleh sebab itu, sejumlah langkah strategis harus segera dilakukan:
- Moratorium izin pembangunan perumahan dan komersial di kawasan persawahan, resapan air, sempadan sungai, dan dataran rendah.
- Revitalisasi total drainase utama dan sekunder kota di minimal 10 titik genangan prioritas.
- Normalisasi dan pengerukan Way Sekampung, Way Raman, dan anak sungainya secara terencana sepanjang 12 km.
- Pembangunan sumur resapan di fasilitas publik, permukiman padat, dan perkantoran.
- Mendirikan minimal 3 TPS 3R skala kecamatan untuk mengurangi beban sampah ke sungai.
- Penyusunan Rencana Induk Drainase dan Banjir Kota Metro berbasis peta risiko bencana dan curah hujan ekstrem.
- Relokasi permukiman liar di bantaran sungai melalui pendekatan insentif sosial dan penyediaan hunian alternatif.
Tanpa langkah berani ini, Kota Metro hanya akan menjadi contoh buruk tata kelola kota kecil yang gagal memahami esensi pembangunan berkelanjutan.
Banjir di Kota Metro adalah potret gagalnya leadership urban planning. Pemerintah daerah bukan hanya abai menjalankan amanat Rencana Tata Ruang dan Wilayah ( RT /RW), tapi juga gagal membaca trend perubahan iklim, pertumbuhan Kota, dan dinamika lingkungan hidup. Jika tak segera dilakukan reformasi tata kelola ruang Kota, banjir ini akan menjadi warisan bencana ekologis bagi generasi mendatang.
Kota ini membutuhkan kepemimpinan yang berani mengambil keputusan tidak populer demi keselamatan lingkungan dan warganya. Karena membangun kota bukan soal taman-taman indah dan festival budaya, melainkan memastikan ekosistemnya lestari, infrastrukturnya kuat, dan warganya aman dari bencana buatan manusia.















Add Comment