Zaman memang sudah berbalik. Dulu, kami para kuli tinta “generasi sedikit tua” ini mencari kebenaran di antara kepulan asap rokok di warung kopi, menyimak bisik-bisik di lorong kekuasaan, hingga menafsirkan bahasa tubuh para politisi dalam rapat paripurna yang terkadang lebih sunyi dari kuburan. Sekarang? Panggung politik Kota Metro terasa seperti komedi putar yang tak henti-hentinya berputar di linimasa media sosial. Kebenaran dan desas-desus kini lahir dari unggahan di media sosial, menyebar secepat kilat, dan menjadi bahan perdebatan sengit di grup-grup WhatsApp (WAG).
Belakangan ini, panggung komedi putar itu semakin riuh. Di tengah berbagai isu personal yang menerpa Walikota Metro, Bambang Imam Santoso, tiba-tiba muncul sebuah paduan suara yang serempak. Sejumlah organisasi masyarakat (ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tampil ke depan, seolah menyuarakan pembelaan dengan narasi yang nyaris seragam: hentikan isu negatif, jangan ganggu kerja pemerintah, dan mari dukung kerja nyata walikota.
Sebagai seorang jurnalis yang telah belasan tahun mengamati denyut nadi politik kota ini, saya tidak bisa tidak mengangkat alis. Tentu, dukungan adalah hak setiap kelompok. Namun, orkestrasi pembelaan yang muncul serentak ini justru memantik pertanyaan yang lebih besar, bukan meredamnya. Alih-alih memadamkan api, manuver ini seolah menyiram bensin ke dalam perdebatan yang sudah panas.
Mari kita bedah sejenak “isu negatif” yang dimaksud. Di jagat maya, beredar gunjingan tentang “wakil yang tak dianggap”, sebuah satire yang menyoroti dinamika antara walikota dan wakilnya, M. Rafieq Adi Pradana. Ada pula isu tentang “asisten yang megap-megap”, sebuah metafora yang mungkin merujuk pada beban birokrasi dalam menghadapi isu-isu personal walikota, termasuk dugaan penunjukan pejabat yang tidak sesuai aturan.
Puncaknya adalah isu yang paling sensitif dan viral: dugaan “poligami” dan ketidaksesuaian data administrasi kependudukan walikota yang sempat ramai di media sosial. Isu-isu ini, entah benar atau salah, telah menjadi konsumsi publik. Mereka bukan lagi sekadar gosip di ruang privat, melainkan telah menjadi bagian dari diskursus publik yang membentuk persepsi masyarakat terhadap pemimpinnya.
Di sinilah paduan suara para pembela itu masuk. Mereka berargumen bahwa isu-isu ini adalah serangan personal yang tidak relevan dan hanya bertujuan merusak stabilitas pemerintahan. Mereka mengajak publik untuk fokus pada “kerja nyata” sang walikota. Sebuah ajakan yang terdengar mulia, namun terasa janggal jika tidak disertai dengan transparansi.
Panggung Terbaru: Pelantikan Pejabat dan Delapan Kursi Kosong
Seolah drama di kota ini belum cukup, panggung kembali dibuka dengan episode baru: pelantikan 18 pejabat struktural pada awal Juli. Namun, seperti biasa di Metro, yang menarik bukanlah siapa yang dilantik, melainkan siapa yang tidak. Kabarnya, ada delapan pejabat yang namanya sudah tercantum dalam undangan namun batal naik panggung. Kursi mereka dibiarkan dingin, menjadi saksi bisu sebuah pesan politik yang dikirim dengan tinta tak kasat mata.
Ini bukan sekadar kesalahan administrasi. Dalam kamus politik lokal, ini adalah sebuah warning shot, sebuah pertunjukan kekuasaan yang telanjang. Siapakah delapan orang ini? Apa “dosa” mereka hingga urung dilantik di menit-menit terakhir? Apakah ini hukuman bagi mereka yang dianggap tidak loyal, atau mungkin mereka yang ‘terlalu dekat’ dengan ‘wakil yang tak dianggap’ itu?
Manuver ini adalah antitesis dari seruan para pembela walikota. Sementara para ketua ormas meminta kita fokus pada “kerja nyata”, sang nahkoda justru sibuk memainkan catur birokrasi. Ini adalah indikasi praktik politik transaksional yang paling purba: imbalan bagi yang setia, dan hukuman bagi yang dicurigai membangkang. Ini menguatkan kritik yang pernah dilontarkan Wakil Ketua DPRD, Abdulhak, soal “bagi-bagi kue jabatan”, namun dengan sentuhan drama yang lebih teatrikal.
Kejadian ini semakin mempertegas bahwa fungsi pengawasan DPRD menjadi krusial, namun seringkali lemah dalam praktiknya. DPRD seharusnya tidak hanya menjadi penonton, tetapi harus menggunakan haknya, seperti interpelasi, untuk meminta keterangan atas kebijakan yang strategis dan berdampak luas pada moral birokrasi seperti ini. Namun, ketika koalisi di parlemen terlalu gemuk dan oposisi nyaris tak bersuara , mekanisme checks and balances menjadi macet.
Kerja Nyata VS Gaduh Politik
Pertanyaannya, apakah membedah “kerja nyata” itu berarti kita harus menutup mata terhadap isu-isu lain yang menyangkut integritas dan tata kelola?, Justru, sebagai jurnalis dan warga yang kritis, kita harus melihat keduanya. Mari kita bicara “kerja nyata”. Pemerintah memang kerap menyajikan data makro yang positif. Namun, pada saat yang sama, warga Kota Metro dihadapkan pada rencana kenaikan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 30 miliar pada tahun 2025, yang akan dibiayai dari dua objek pajak baru. Apakah ini bagian dari “kerja nyata” yang harus kita dukung tanpa bertanya?
Kita juga melihat bagaimana infrastruktur vital seperti jalanan kota masih menjadi keluhan abadi warga, sebuah kontras yang tajam dengan klaim pemerintah yang menyatakan pembangunan infrastruktur adalah prioritas. Di sinilah letak persoalan yang sesungguhnya. Isu personal dan manuver politik seorang pemimpin menjadi relevan ketika berpotensi mempengaruhi gaya kepemimpinan dan kebijakan publiknya. Gaya politik “taichi” yang selalu “play victim”, seperti yang banyak diperbincangkan, bisa menjadi cara untuk mengalihkan perhatian dari masalah-masalah substansial ini.
Masyarakat kini lebih cerdas. Upaya membungkam kritik dengan label “isu negatif” atau “serangan personal” tidak lagi efektif. Justru, semakin kuat upaya pembelaan yang terkesan terkoordinasi, semakin besar pula rasa penasaran publik. Apakah ini murni dukungan tulus, atau ada agenda lain di baliknya? Siapakah “4 Setunggul” yang konon menjadi lingkaran dalam walikota, dan apa peran mereka dalam setiap kebijakan?
Pada akhirnya, transparansi adalah jawaban terbaik. Jika isu-isu yang beredar memang fitnah, klarifikasi yang jujur dan terbuka akan lebih ampuh daripada pengerahan massa pembela. Jika ada kekeliruan, mengakuinya adalah bentuk kebesaran jiwa ksatria seorang pemimpin.
Bagi kami, para jurnalis, tugas kami tetap sama. bertanya. Bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan di atas rel yang benar. Gaduh politik ini, dengan segala drama kursi kosong dan orkestrasinya, adalah pengingat bahwa di era digital ini, tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi. Setiap pemimpin harus siap untuk hidup di dalam “rumah kaca”, di mana setiap gerak-geriknya diawasi langsung oleh rakyat yang kini memegang gawai di tangan mereka.
Oleh: Abdul Wahab ( Ketua PWI Kota Metro Periode 2018-2021/ Pemred tabikpun.com).

Add Comment