Metro OPINI

Integritas Diuji, Bising yang Meredam 

Pemimpin Redaksi Tabikpun.com Abdul Wahab. (Red)

Tabikpun.com – Kota Metro sedang berisik. Dan kali ini, bukan semangat pembangunan yang akan dicapai apalagi mencari kebenaran, melainkan desas-desus yang seolah meredam.

Dugaan skandal perselingkuhan dua anggota DPRD Kota Metro menyulut kegelisahan warga. Bukan hanya karena pemerannya adalah wakil rakyat, tapi sepertinya respons masing- masing partai politik seolah lebih sibuk mencari pembelaan dengan mengutamakan citra daripada membangun kepercayaan publik dengan akal sehat.

Sudah jelas perkara ini terang benderang bermula adanya laporan seorang istri sah kepada Badan Kehormatan DPRD, yang menuding suaminya anggota dewan aktif berselingkuh dengan sesama anggota legislatif. Tentu atas bukti 3 lembar kertas yang dibubuhi tanda tangan di atas materai itu sudah dapat dijadikan alat petunjuk, apalagi jika ada alat -alat bukti petunjuk lainnya yang mengarah kepada pembuktian yang dapat dijadikan dasar permulaan Badan Kehormatan DPRD Metro untuk menyelidikinya.

Tak ada angin tak ada hujan, heran saja, Laporan itu mencuat pada 5 Mei 2025, namun berselang tiga hari kemudian, sang pelapor mencabut pengaduannya melalui surat tertulis yang lebih tampak sebagai pernyataan diplomatis daripada sikap personal.

Tentunya, ada yang tak beres. Dibilang terlalu rapi ya ngak juga, justru ini menjadi kecurigaan publik mengapa jadi begitu. Publiklah yang menilai. Yang paling memprihatinkan bukanlah peristiwanya. Akan tetapi sikap defensif partai politik yang menaungi para terduga seolah melindungi, bahkan bungkam menyikapi perkara ini.

Klarifikasi kepada publik dilakukan di sebuah kafe, bukan di ruang formal, dengan pernyataan yang lebih menyerupai pembelaan korporasi ketimbang tanggung jawab kelembagaan. Terkesan tertutup karena menolak saat sesi tanya jawab dengan awak media.

Belum cukup di situ, muncul pula pernyataan dari seseorang yang mengaku kerabat pihak pelapor, dengan statmennya mengarah kepada pembungkaman kerja kepada jurnalis. Ini bukan hanya merendahkan profesi wartawan, tapi juga menunjukkan betapa rendahnya standar etika politik saat ini.

Reaksi balik masyarakat pun tidak bisa dihindari. Sejumlah kelompok sipil menyuarakan niat untuk turun ke jalan, mendesak pencopotan dua anggota dewan itu. Mereka juga menuntut transparansi dari partai politik dan lembaga DPRD.

Sebab, sesederhana ini logikanya, ketika wakil rakyat berulah, rakyat berhak marah. Tapi mari kita luruskan, ini bukan soal moral pribadi semata. Ini soal integritas pejabat publik yang digaji dari uang negara dan diamanahi suara rakyat. Ketika moral runtuh, maka semua keputusan dan kebijakan yang mereka hasilkan juga patut dicurigai.

Dua anggota dewan itu bukan figuran. Keduanya memegang posisi strategis yang berpotensi mempengaruhi kebijakan daerah. Maka wajar, jika publik mencurigai potensi konflik kepentingan yang muncul dari hubungan pribadi yang tak seharusnya ada.

Yang lebih berbahaya dari skandal ini adalah diamnya sistem. DPRD belum menunjukkan langkah kongkrit dan korektif. Partai justru tampak kalap mempertahankan narasi pembelaan. Dalam suasana seperti ini, kepercayaan publik bisa jatuh bebas.

Partai politik semestinya menjadi pilar pertama penegakan etika, apalagi juga terbentuknya Badan Kehormatan (BK). Mereka memiliki mekanisme pengawasan internal, kode etik, dan disiplin kader. Tapi ketika yang dipersoalkan adalah “orang dalam”, semua mekanisme itu tampak tumpul.

Jika partai hanya garang kepada kader kecil, namun bungkam saat elite-nya bermasalah, maka jangan heran jika rakyat mulai menganggap partai hanya serikat kekuasaan, bukan alat perjuangan.

Inilah yang membuat potensi warga meluap menjadi relevan. Bukan karena rakyat beringas, tapi karena institusi tak lagi mampu menjadi saluran etik. Bila suara-suara di gedung tak lagi mewakili kehendak publik, maka suara jalanan menjadi keniscayaan.

Pertanyaan yang lebih besar kini menggantung, apakah ini akan menjadi momentum koreksi, atau justru satu bab lagi dalam buku tebal hipokrisi politik lokal?

Jika DPRD dan partai gagal menunjukkan ketegasan, maka kita sedang menyaksikan tumbuhnya budaya impunitas baru yang menyembunyikan penyimpangan di balik kekuasaan, bukan menyelesaikannya.

Sebaliknya, jika langkah berani diambil adalah tegas, audit etika, klarifikasi terbuka, maka Metro bisa menjadi contoh baik bagi daerah lain yang mengalami penyakit serupa. Bahwa politik lokal bisa bersih, jika rakyat tak diam.

Kita tahu, ini bukan skandal pertama. Mungkin bukan yang terakhir. Tapi setiap krisis membuka ruang perbaikan, jika kita mau menatapnya dengan serius, bukan dengan nyinyir atau sinisme yang mematikan harapan.

Yang lebih penting dari demonstrasi adalah ingatan. Lantas, siapa yang akan akan tetap mengawal kasus ini sampai tuntas, atau hanya marah sebentar lalu kembali sibuk memotret makanan?

Demokrasi bukan sekadar ritual lima tahunan. Ia harus dijaga setiap hari di ruang rapat, di meja redaksi, di jalanan, dan di rumah. Karena jika rakyat berhenti bersuara, maka keheningan akan menjadi alat kekuasaan yang paling mematikan.

 

Oleh : Abdul Wahab

About the author

Redaksi TabikPun

Add Comment

Click here to post a comment

Tinggalkan Balasan

IKLAN

IKLAN

%d blogger menyukai ini: