News OPINI

Kebakaran California dan Peringatan Keras bagi Dunia: Saatnya Berpikir di Luar Pemadaman

Ilustrasi. (Ist)

Tabikpun.com – Kebakaran hutan di California yang baru saja dinyatakan sepenuhnya padam bukan sekadar bencana alam biasa. Kerugian mencapai Rp4.482 triliun (sekitar $300 miliar) harusnya menjadi tamparan keras bagi dunia, ini adalah bukti nyata bahwa perubahan iklim tidak lagi bisa dianggap sebagai ancaman abstrak. Api yang melalap lahan seluas 1,6 juta hektar itu bukan hanya menghanguskan hutan, rumah, atau infrastruktur, tetapi juga membuka borok sistemik dalam kebijakan lingkungan global. Tragedi ini adalah pengingat bahwa krisis iklim tidak mengenal batas geografis atau status ekonomi. Jika California—negara bagian dengan ekonomi terbesar kelima di dunia—bisa terpuruk, bagaimana dengan negara lain yang sumber dayanya lebih terbatas?

Akar Masalah: Kombinasi Fatal Krisis Iklim dan Kelalaian Manusia

Mari kita jujur mengakui bahwa tragedi ini adalah hasil dari kombinasi fatal antara krisis iklim dan kelalaian manusia. Suhu yang terus meningkat, musim kemarau panjang, dan angin kencang menciptakan “bahan bakar sempurna” untuk kobaran api. Data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mencatat, suhu global pada 2023 mencapai rekor tertinggi dalam 174 tahun terakhir, mempercepat pengeringan vegetasi. Namun, di balik itu, praktik pengelolaan lahan yang buruk, pembukaan hutan untuk permukiman, serta minimnya investasi dalam mitigasi bencana turut memperparah situasi. California, misalnya, masih mengizinkan pembangunan perumahan di zona antarmuka perkotaan-hutan (WUI), area yang rawan kebakaran. Padahal, 40% rumah baru di negara bagian itu dibangun di daerah berisiko tinggi. Ini adalah bentuk ketidakseriusan kebijakan yang mengorbankan keselamatan publik demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Di tingkat global, komitmen pengurangan emisi masih jauh dari target Perjanjian Paris. Emisi karbon dunia pada 2023 justru naik 1,1%, menunjukkan bahwa transisi ke energi bersih berjalan terlalu lambat. Sementara itu, deforestasi di Amazon, Indonesia, dan Kongo terus berkontribusi pada hilangnya “paru-paru dunia” yang seharusnya menjadi benteng penyerap karbon. Kebakaran California hanyalah puncak gunung es dari sistem yang gagal mengintegrasikan keberlanjutan dalam pembangunan.

Kerugian Ekonomi: Alarm bagi Ketahanan Global 

Angka kerugian yang mencapai Rp4.482 triliun harus dibaca sebagai alarm bagi ekonomi global. Kerugian ini tidak hanya mencakup properti yang hancur, tetapi juga hilangnya mata pencaharian, biaya evakuasi, rehabilitasi ekosistem, dan dampak jangka panjang seperti penurunan kualitas udara yang memicu krisis kesehatan. Asap tebal dari kebakaran mengandung partikel PM2.5 yang merusak paru-paru, memicu penyakit pernapasan, dan meningkatkan risiko kematian dini. Studi Universitas Stanford memperkirakan, paparan asap kebakaran hutan di AS pada 2020 menyebabkan 1.200 hingga 3.000 kematian tambahan.

Jika bencana serupa terjadi di wilayah padat penduduk seperti Asia Tenggara atau Afrika, dampaknya bisa lebih menghancurkan. Contohnya, kebakaran hutan Indonesia pada 2019 menyebabkan kerugian ekonomi Rp72,95 triliun dan 900.000 kasus infeksi saluran pernapasan. Negara-negara berkembang seringkali kekurangan teknologi pemantauan udara, infrastruktur kesehatan yang memadai, atau sistem evakuasi terorganisir. Ini menunjukkan betapa rapuhnya ketahanan masyarakat di era krisis iklim.

Cermin Masa Depan: Bertindak atau Menjadi Abu

Kebakaran California adalah cermin masa depan jika kita terus abaikan. Bencana ini bukan hanya milik AS, tetapi milik semua negara yang masih bergantung pada energi fosil, membiarkan deforestasi, atau menunda transisi ke energi bersih. Rp4.482 triliun adalah harga yang terlalu mahal untuk sekadar dijadikan pelajaran singkat. Kita perlu bertindak radikal: menghentikan ekspansi tambang batu bara, mempercepat instalasi panel surya dan turbin angin, serta melibatkan komunitas lokal dalam restorasi lingkungan.

Jika tidak, angka kerugian akan terus membengkak, dan kita hanya menunggu giliran menjadi korban berikutnya. Pencegahan bukan lagi pilihan—ini adalah satu-satunya jalan untuk memastikan bumi tidak berubah menjadi abu. Transisi ke energi terbarukan, penegakan hukum lingkungan yang ketat, dan solidaritas global harus menjadi prioritas. Sebab, di tengah krisis iklim, tidak ada negara atau individu yang bisa selamat sendirian.

Penulis: Revan Khaira Ramadhan (J0401231045) Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

About the author

Redaksi TabikPun

Add Comment

Click here to post a comment

Tinggalkan Balasan

IKLAN

IKLAN

%d blogger menyukai ini: