Tabikpun.com – Sistem penerimaan murid baru selalu menjadi perbincangan yang hangat. Berbagai persoalan yang muncul dari sistem sebelumnya membuat pemerintah terus melakukan perubahan. Kini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) mengumumkan perubahan sistem dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
Perubahan ini mencakup empat jalur penerimaan yaitu domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi. Namun, pertanyaannya adalah apakah perubahan nama ini akan benar-benar merubah sistem yang selama ini dikeluhkan masyarakat atau hanya sekadar merubah nama dengan modifikasi kecil? Jika ditelusuri, sistem SPMB masih sangat mirip dengan sistem PPDB sebelumnya. Empat jalur penerimaan yang disebutkan dalam aturan sistem baru (SPMB) sudah ada pada sistem sebelumnya (PPDB).
Perbedaannya hanya terletak pada persentase kuotanya yang diatur ulang. Jalur domisili (yang sebelumnya disebut zonasi) dikurangi kuotanya, sementara jalur afirmasi, prestasi, dan mutasi ditambah kuotanya. Kemudian, apakah perubahan ini cukup mengatasi berbagai kritik yang selama ini muncul pada sistem sebelumnya (PPDB)? Salah satu perubahan yang menjadi pusat perhatian adalah pergantian nama jalur zonasi menjadi domisili.
Sudah empat tahun sejak sistem zonasi pada PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) diterapkan dengan tujuan pemerataan kualitas pendidikan. Walaupun sistem zonasi ini diharapkan dapat menghapus label favorit pada sekolah, tetapi faktanya sebaran kuantitas dan kualitas sekolah belum merata ke seluruh daerah.
Sehingga banyak orang tua yang tetap mencari cara agar anaknya bisa masuk ke sekolah favorit yang sudah dikenal dengan kualitasnya yang unggul, yang memicu berbagai praktik manipulasi termasuk pemalsuan kartu keluarga dan jual beli kuota. Pergantian sistem PPDB ke SPMB ini seharusnya tidak hanya berfokus pada skema penerimaan murid baru, tetapi juga menyelesaikan akar masalah pendidikan di Indonesia.
Untuk mewujudkan pemerataan kualitas pendidikan, pemerintah seharusnya menaruh perhatian pada distribusi sekolah yang lebih merata karena saat ini ada beberapa sekolah yang bertumpuk di satu wilayah sementara wilayah lain justru kekurangan sekolah. Jika pemerataan jumlah sekolah tidak segera dilaksanakan, maka sistem penerimaan murid baru akan tetap menimbulkan permasalahan yang sama.
Tidak heran jika pada akhirnya banyak siswa yang tetap berusaha masuk ke sekolah favorit, terutama siswa yang berprestasi pasti ingin mempertahankan prestasinya di sekolah yang unggul. Selain itu, berkualitasnya suatu sekolah juga sangat bergantung pada tenaga pendidiknya. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap sekolah memiliki guru-guru yang berkualitas dengan kesejahteraan yang layak.
Tidak lupa juga dengan fasilitas sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan siswanya untuk belajar dengan nyaman. Dengan adanya peningkatan kualitas sekolah di seluruh wilayah, sistem zonasi dengan fasilitas pendidikan dapat sejalan dan terwujudkan misi pemerintah untuk meratakan kualitas pendidikan di Indonesia.
Di sisi lain, kewenangan pemerintah daerah dalam sistem SPMB juga perlu diperjelas. Regulasi umum dapat ditetapkan oleh pemerintah pusat, tetapi pelaksanaan teknisnya sebaiknya diserahkan kepada pemerintah daerah yang dapat lebih memahami kondisi wilayahnya masing-masing. Dengan demikian, kebijakan yang diterapkan bisa lebih relevan dan efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
Jika pemerintah daerah diberi peran dalam mengatur teknis penerimaan siswa baru sesuai dengan kondisi wilayahnya, maka akan ada fleksibilitas dalam mengatasi permasalahan pendidikan di setiap daerah. Tidak kalah penting juga, transparansi dan akuntabilitas dalam sistem penerimaan murid baru harus menjadi prioritas utama.
Seperti kasus-kasus sebelumnya yang banyak terjadi, praktik-praktik kecurangan masih kerap terjadi dalam PPDB. Manipulasi alamat, kartu keluarga, jual beli kursi, hingga manipulasi kuota seringkali menjadi hambatan dalam penerimaan siswa baru.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat memastikan bahwa penerapan sistem baru SPMB ini dapat dilaksanakan dengan lebih terbuka dan melibatkan pengawasan ketat dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, agar setiap siswa mendapatkan hak pendidikan yang adil dan merata. Publik juga perlu mengambil peran dalam pengawasan sistem ini.
Misalnya, dengan memberi wadah untuk pengaduan bagi masyarakat untuk melaporkan kecurangan dalam penerimaan siswa baru. Selain itu, sekolah-sekolah juga diwajibkan untuk mengumumkan hasil seleksi secara transparan agar tidak ada celah bagi praktik korupsi dalam proses penerimaan siswa.
Pada akhirnya, perubahan PPDB menjadi SPMB diharapkan bukan sekadar pergantian istilah tanpa perubahan nyata. Jika pemerintah ingin menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan berkualitas, maka perbaikan infrastruktur sekolah, peningkatan kesejahteraan dan kualitas guru, serta transparansi dalam penerapan kebijakan harus menjadi prioritas utama.
Tanpa upaya tersebut, perubahan sistem ini hanya akan menjadi siklus pengulangan kebijakan yang tidak benar-benar menyelesaikan masalah pendidikan selama ini. Jika sistem penerimaan siswa baru hanya terus diubah tanpa melakukan evaluasi dari kebijakan sebelumnya, maka yang akan terjadi hanya perubahan nama yang tidak berdampak signifikan bagi masa depan anak bangsa.
Penulis: Luna Diva Alifia Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
NIM: J0401231172

Add Comment