Metro OPINI

Wakil yang Tak Dianggap, dan ‘Asisten’ yang Megap-Megap: Sebuah Sketsa Politik Kota Metro di Era Disrupsi

Pemred Tabikpun.com Abdul Wahab. (Red)

Dunia ini memang panggung sandiwara, kata Shakespeare. Tapi kalau di Kota Metro, panggungnya itu bukan cuma sandiwara, melainkan juga seperti komedi putar, lengkap dengan efek suara dari TikTok dan lampu sorot dari layar Facebook. Dulu, kami para jurnalis “Old School”   berburu berita di lapangan, mengendus aroma kebenaran dari bisik-bisik warung kopi hingga rapat paripurna yang kadang lebih mirip rapat RT. Sekarang?, Kebenaran itu kadang muncul dari thread di grup Facebook, atau dari video joget-joget di TikTok yang menyisipkan sindiran politik. Disrupsi, katanya. Atau jangan-jangan, ini memang cara semesta menertawakan kita, para pencari berita yang kini harus bersaing dengan algoritma dan influencer dadakan.

Dulu, kami hanya berhadapan dengan sensor penguasa. Kini, kami harus berhadapan dengan sensor algoritma dan kecepatan jempol netizen yang lebih cepat dari kilat. Belum lagi si AI, yang konon bisa menulis berita lebih cepat dari kami, bahkan mungkin bisa membuat opini yang lebih satir dari Sujiwo Tejo sekalipun. Tapi, apakah AI bisa merasakan getirnya kopi pahit di pagi hari sambil merenungi nasib sebuah kota? Saya ragu.

Sang Nahkoda dan Bayangan di Sampingnya

Di Kota Metro ini, kita punya nahkoda baru, Walikota Bambang Iman Santoso. Beliau ini, konon, adalah walikota dengan harta paling “minimalis” se-Lampung. Sebuah anomali yang patut dirayakan, atau justru dipertanyakan? Di tengah lautan pejabat yang hartanya bikin mata melotot, beliau muncul dengan motor seharga Rp 8 juta. Ini bukan lagi soal integritas, ini sudah masuk kategori branding yang jenius. Rakyat mana yang tak simpati pada pemimpin yang “sederhana” begitu?

Di samping nahkoda, ada wakilnya, M. Rafieq Adi Pradana. Konon, di jagat maya beredar bisik-bisik tentang “wakil yang tak dianggap”. Entah ini sekadar gosip atau memang ada dinamika Yin dan yang yang tak seimbang di balai kota. Yang jelas, mereka berdua dilantik bersama, tampil bersama di acara coffee morning dengan pers.Bahkan sama-sama mengesahkan kebijakan “penghapus dosa” denda PBB-P2 yang bikin rakyat bersorak gembira. Tapi, apakah coffee morning itu cukup untuk menyatukan dua jiwa dalam satu perahu? Atau jangan-jangan, ada “kualat” yang tak terucap antara Walikota Bambang dengan Ketua DPD Partai Demokrat Lampung, Edy Irawan Arief, yang tak lain adalah ayahanda dari Wakil Walikota Rafieq?.  Di panggung politik, kadang yang tak terucap justru lebih nyaring bunyinya.

‘Asisten’ yang Megap-Megap dan Hobi ‘Poligami’ yang Viral

Nah, ini dia bumbu paling gurih di jagat perpolitikan Metro. Isu “asisten yang megap-megap” dan “skandal” yang dikaitkan dengan hobi “poligami” Walikota Bambang. Konon, di grup Facebook “Warga Kota Metro” sempat beredar dokumen yang mencantumkan status perkawinan beliau sebagai “jejaka”, padahal di KPU tercatat punya dua istri.  Ini bukan lagi soal administrasi, ini sudah masuk ranah metafisika rumah tangga. Apakah ini sebuah upaya untuk “menjomblo” secara administratif di tengah hiruk pikuk politik? Atau jangan-jangan, ini adalah bentuk “poligami” yang tak kasat mata, di mana satu hati harus dibagi untuk rakyat, partai, dan entah siapa lagi?

Isu ini, yang sempat viral di TikTok, menunjukkan betapa tipisnya batas antara ruang privat dan publik bagi seorang pejabat.  Asisten, yang seharusnya membantu urusan pemerintahan, mungkin jadi “megap-megap” karena harus mengurus klarifikasi atau meredam gosip yang lebih cepat menyebar dari virus. Apalagi, ada juga kritik dari Wakil Ketua DPRD Metro, Abdulhak, yang menyoroti penunjukan pejabat Pelaksana Tugas (Plt) yang dinilai “bagi-bagi kue jabatan” dan tidak sesuai aturan.  Apakah “asisten” yang dimaksud ini adalah metafora untuk birokrasi yang sedang “megap-megap” karena diisi oleh orang-orang yang tak pada tempatnya, atau memang ada “asisten” yang secara harfiah “megap-megap” karena harus menanggung beban gosip yang tak berkesudahan? Di  Bumi Sai Wawai, kadang yang fiktif terasa lebih nyata dari fakta.

Seni ‘Taichi’ dan ‘4 Setunggul’ yang Misterius

Gaya politik Walikota Bambang ini kerapkali disebut sebagai “taichi” oportunis, yang selalu “play victim”. Seolah-olah, setiap ada masalah, beliau selalu menjadi pihak yang “terdzolimi”, padahal di balik itu, ada gerakan “taichi” yang halus namun mematikan. Ini seperti pesilat yang tak pernah terlihat menyerang, tapi lawan sudah terkapar. Di media sosial, narasi “play victim” ini bisa jadi senjata ampuh, mengundang simpati dan mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih substansial.

Dan jangan lupakan, di balik layar, ada dugaan bisik-bisik tentang “pengaturan” oleh rekan-rekan bawahan beliau di fraksi Partai Demokrat. Partai yang dipimpinnya sendiri. Apakah ini sebuah orkestrasi politik yang rapi, atau justru ada “dalang” lain yang memainkan wayang-wayang di balai kota?
Lalu, ada lagi yang lebih misterius: “4 Setunggul”.

Konon, ini adalah empat orang pengusaha “Pak Haji” yang disebut-sebut sebagai “sahabat karib” Walikota Bambang. Mereka ini, santer, adalah “dewan penasihat tak resmi” yang selalu ada di balik setiap kebijakan, setiap proyek, setiap langkah Walikota. Di Metro, kadang yang tak terlihat justru lebih berpengaruh dari yang terpampang di baliho. Apakah mereka ini adalah “malaikat” yang membawa berkah, atau justru “setan” yang membawa agenda tersembunyi? Di era digital ini, rumor seperti “4 Setunggul” ini menyebar lebih cepat dari flash sale di e-commerce, tanpa perlu verifikasi dari media mainstream.

Biru yang Berubah Jadi Jingga: Drama di Gedung Dewan

Tak hanya di eksekutif, drama juga merajalela di legislatif. infonya, ada “skandal” yang melibatkan Ketua DPRD Kota Metro dari PDI-P dengan anggota dari Nasdem.  Sebuah kisah cinta terlarang, atau mungkin “cinta segitiga” politik, yang membuat “Biru yang berubah jadi Jingga”. PDI-P yang identik dengan warna merah, dan Nasdem dengan jingga. Apakah ini metafora untuk pergeseran loyalitas politik, atau memang ada “perselingkuhan” ideologi yang lebih dalam? Yang jelas, skandal ini dilaporkan ke Badan Kehormatan DPRD, dan tentu saja, menjadi santapan empuk di grup-grup Facebook.

Di tengah semua ini, kami para jurnalis digital, yang dulu bangga dengan kecepatan berita, kini harus berhati-hati. Antara kecepatan dan akurasi, mana yang harus didahulukan? Antara viralitas dan verifikasi, mana yang lebih penting? Disrupsi AI, yang konon bisa memproduksi berita palsu dengan sempurna, membuat pekerjaan kami semakin rumit. Apakah kami harus menjadi detektif digital, atau justru menjadi filsuf yang merenungi makna kebenaran di era pasca-fakta?

Epilog: Tawa di Tengah Absurditas

Kota Metro, dengan segala dinamikanya, adalah sebuah panggung komedi politik yang tak pernah usai. Dari walikota “minimalis” yang dituduh “poligami” administratif, wakil yang “tak dianggap”, asisten yang “megap-megap”, hingga drama perselingkuhan di gedung dewan yang mengubah “biru menjadi jingga”. Semua ini adalah bumbu yang membuat hidup di Metro tak pernah membosankan.

Di tengah semua absurditas ini, kita hanya bisa tertawa. Tertawa pada diri sendiri, pada para politisi, dan pada dunia yang semakin sulit dibedakan antara fakta dan fiksi. Karena, seperti kata Sujiwo Tejo, “Hidup itu seperti pementasan wayang. Dalang hanya memainkan lakon, tapi penontonlah yang menentukan makna.” Dan di Metro, penontonnya itu kini punya jempol yang sangat aktif di Facebook dan TikTok. Semoga saja, di balik semua tawa ini, ada sedikit kesadaran untuk membangun kota ini menjadi lebih baik, bukan hanya di atas kertas RPJMD, tapi juga di hati nurani setiap warganya.

Oleh: Abdul Wahab

About the author

Redaksi TabikPun

Add Comment

Click here to post a comment

Tinggalkan Balasan

IKLAN

IKLAN

%d blogger menyukai ini: