Tabikpun.com – Syahdu, gambaran suasana sore ini. Angin laut membelai lembut, membawa aroma asin khas pesisir yang bercampur wangi hutan mangrove di tepian Pulau Pahawang, Lampung.
Di pelataran sebuah vila sederhana yang menghadap langsung ke hamparan biru Teluk Ratai, tiga sosok pewarta senior duduk melingkar, ditemani kopi hitam pekat dan suara desiran ombak yang mulai menyanyikan malam.
Ada Abdul Wahab, CEO salah satu media online terkemuka di Metro, Edi Suranto atau akrab disapa Bung Edoy, kepala biro salah satu televisi lokal dan Ali Imron Muslim Ketua organisasi perusahaan pers yang mewadahi puluhan media di Kota Metro.
Tidak ada panggung resmi, tidak ada mikrofon, hanya percakapan santai bercampur gelak tawa. Namun, topik yang mereka bahas sore itu jauh dari santai, dugaan skandal perselingkuhan dua anggota DPRD Kota Metro yang kini viral dan jadi buah bibir masyarakat.
Wahab memulai guyonan dengan narasi Antara Cinta, Kuasa, dan Skandal. Yang seketika itu memantik diskusi seru diantara ketiganya, sementara para junior yang lainnya hanya menyaksikan para senior bercengkrama.
“Kalau kasus ini benar, ini bukan sekadar aib pribadi. Ini bisa jadi preseden buruk bagi citra lembaga legislatif kita,” ungkap Abdul Wahab, sembari menyeruput kopinya. Nada suaranya tenang, namun sarat kekhawatiran.
Edi Suranto menimpali dengan nada sedikit bercanda, “Wah, ini kisah cinta segitiga atau drama politik ya? Mirip sinetron sih, tapi kalau dampaknya sampai melemahkan kepercayaan publik, itu masalah besar,” ucapnya.
Ali Imron hanya tersenyum tipis. Ia menunduk, menatap gelasnya sejenak sebelum berkata, “Dalam politik, kadang personal jadi politikal. Orang lupa, perilaku mereka di ranah pribadi bisa berdampak sistemik, apalagi kalau mereka pejabat publik,” cetusnya sembari tertawa tipis.
Diskusi itu bukan sekadar obrolan ringan. Mereka mengupas lapisan demi lapisan kasus yang mencuat di permukaan, membandingkan dengan sejumlah peristiwa serupa di daerah lain. Dugaan perselingkuhan dua anggota DPRD Metro itu kini bukan hanya jadi topik gosip warung kopi, tapi juga perbincangan serius di ruang-ruang politik.
Berita awalnya beredar dari laporan istri oknum anggota DPRD Kota Metro ke Badan Kehormatan (BK) yang menduga suaminya main serong dengan seorang wanita yang juga merupakan anggota Dewan.
Berita yang ramai termuat di media massa itu cepat mendapat respon netizen dan viral, hingga berdampak pada bumbu dengan spekulasi liar. Media sosial menjadi panggung, sementara publik menonton sambil bersorak atau mencibir. Di tengah arus deras itu, integritas institusi dipertaruhkan.
Abdul Wahab menyebut satu frasa yang membuat Edoy dan Ali Imron mengangguk bersamaan, “bak pelakor yang merenggut kebahagiaan orang lain demi kesenangannya, bak politikus yang tega mengorbankan orang lain demi kepentingannya,” sindir Wahab.
Keduanya tertawa, tapi menyadari betapa dalamnya makna sindiran itu. Politik dan cinta, ketika dikawinkan dalam satu skandal, melahirkan narasi yang nyaris mustahil ditampik. Dalam politik, kepercayaan adalah modal utama. Jika kepercayaan itu runtuh karena perilaku pribadi yang tercela, maka runtuh pula kewibawaan politiknya.
“Kasus ini, meski tampak sepele, efeknya bisa luas. Kita harus jaga agar DPRD tidak diseret ke lubang yang lebih dalam hanya karena ulah segelintir oknumnya,” kata Ali Imron, kini suaranya lebih serius.
Diskusi terus mengalir, kadang bercampur tawa, kadang berubah menjadi keprihatinan. Mereka menyoroti bagaimana media massa seharusnya bersikap, apakah cukup memberitakan fakta, atau ikut menggiring opini publik untuk menuntut pertanggungjawaban moral.
“Media punya peran kontrol sosial. Tapi jangan sampai terjebak jadi alat penghakiman,” ujar Edoy, menegaskan posisinya.
Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, dan lampu-lampu vila mulai menyala, ketiganya sepakat pada satu hal, skandal ini bukan sekadar gosip pribadi, tapi panggilan untuk introspeksi kelembagaan.
“Kalau pimpinan DPRD bijak, harus ada langkah tegas. Bukan semata-mata menghukum oknum, tapi juga memulihkan citra lembaga,” pungkas Abdul Wahab.
Ali Imron menambahkan, “Dan kita sebagai insan pers, tugas kita menjaga agar publik mendapatkan informasi yang benar, bukan sekadar sensasi,” tegasnya.
Diskusi itu akhirnya ditutup dengan gelak tawa kecil, saat segerombolan ikan tiba-tiba melompat menimbulkan gemercik air yang membuat semuanya kaget. Namun di balik kehangatan sore itu, tersimpan kegelisahan, bahwa politik lokal pun tak kebal dari godaan personal, dan media punya peran strategis dalam mengawal moralitas publik.
Dari pelataran vila sederhana di Pahawang, obrolan tiga pewarta senior itu menjadi catatan penting, bahwa di balik skandal viral, ada tanggung jawab kolektif untuk menjaga kehormatan lembaga legislatif.
Dan mungkin, dari perbincangan santai itulah, lahir kesadaran baru, bahwa kepercayaan publik adalah harta yang tak ternilai, yang harus dijaga dengan integritas, bukan sekadar janji politik atau popularitas sesaat.

Add Comment