Feature Metro

Kembali Digandrungi, Perajin Layangan Panen Cuan Kala Pandemi

Menyambut masa habis panen, ratusan masyarakat ikuti lomba layangan lampu di Purwosari, Metro Utara, Sabtu (26/9/2021). (Adi)

METRO – Beberapa bambu sudah tersusun rapi di halaman rumahnya, tiga buah kertas minyak yang terlipat teratur pun berada di sampingnya. Kini, Rio Bimawan (24) bersiap untuk menyulapnya jadi beberapa buah layangan.

Sebab, permainan tradisional itu kembali digandrungi khalayak ketika musim penghujan usai. Pun ketika masa panen padi selesai.

Pria asal Kelurahan Hadimulyo Timur, Metro Pusat (wedusan) itu sudah senang dengan layangan sejak usianya masih belia. Ia mulai hobi ketika pengalaman kecilnya yang selalu diramaikan kerangka bambu berbalut kertas minyak itu dikejar banyak anak kecil saat putus. Dengan banyak pengalaman itu, sampai kini ia masih mencintai permainan tradisional tersebut.

Sebagai karyawan di perusahaan swasta, pria bertinggi badan 170 cm itu melihat sebuah peluang unik. Ia mencoba mengkonversi antara keahlian, hobi, waktu luang, dan kejenuhan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Benar saja, keahlian dia dalam membuat layangan membuatnya kedatangan cuan dengan jumlah yang diinginkan.

Dalam sehari, Rio mampu membuat 3 sampai 5 buah layangan dengan berbagai macam bentuk. Namun, itu hanya bisa dilakukannya jika akhir pekan. Ia selalu melihat potensi waktu untuk bisa dijadikan sebuah peluang duit.

“Dalam membuat layang-layang sebenarnya tidak rumit, hanya saja kita harus bisa menyeimbangkan antara sayap kanan dan kiri agar nantinya bisa terbang secara stabil di langit,” kata dia, Minggu (26/9/2021).

Ia berkisah, tingkat kerumitan dalam merakit sebuah layangan akan membuat lebih banyak kebanjiran konsumen. Karena, seorang yang membeli hasil karyanya bukan hanya dari masyarakat lokal. Namun dari luar daerah juga.

“Kalau untuk harganya nggak mesti harus berapa. Tapi kalau saya jual itu dari Rp 20 ribu hingga Rp 75 ribu mas. Tapi kalau ada yang pesen model unik itu semakin mahal. Yang beli pun tidak hanya masyarakat sini saja. Ada juga dari daerah Lampung Timur dan Lampung Tengah yang pesen di saya,” kisah Rio.

Hampir 5 tahun ia menjual hasil karyanya. Ia mengaku musim kemarau membawa masyarakat yang tak hobi layangan bisa ikutan memesan. Sebab banyak dari petani yang mengisi waktu luangnya menerbangkan layangan di sawah yang sudah selesai panen. Apalagi dalam waktu dekat, di Kota Metro sudah dua kali ada yang mengadakan lomba layangan di malam hari. Hal itu sengaja, mengingat keindahan lampu variasi yang dilekatkan di layangan membuatnya semakin estetik, apalagi dengan jumlah yang banyak.

Menurutnya, dalam pembuatan layang-layang tidak memakan biaya yang besar. Hanya menyiapkan sebilah bambu, kertas minyak, dan lem. Tapi yang paling utama adalah keterampilan yang dimiliki oleh pembuat itu sendiri.

“Kalau sudah musim gini ada yang minta di rakitkan menggunakan lampu kelap-kelip. Supaya kalau di terbangkan hingga malam bisa seperti bintang yang menghiasi langit malam,” ujarnya.

“Kalau di hitung-hitung sebenarnya murah. Cuma kalau ketemu yang rumit itu tak cukup sehari pembuatannya. Kalau model bulan sabit, garuda, dan lainnya itu sehari bisa selesai. Dan saat ini saya sedang kebanjiran konsumen. Lumayan, lagi pandemi gini bisa nambah penghasilan,” ungkap Rio.

Kini, sejak Kota Metro menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 2 dan berstatus zona kuning. Masyarakat setempat cukup banyak yang menerbangkan layang-layang di malam hari dengan jumlah yang sedikit. Bahkan, dalam kondisi yang dalam kurun waktu aktifitasnya dibatasi.

(Adi/AW)

About the author

Redaksi TabikPun

Add Comment

Click here to post a comment

Tinggalkan Balasan

IKLAN

IKLAN

%d blogger menyukai ini: